25/09/12

Syi'ah Di Mata Mbah Hasyim Asy'ari

Sejak didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926, NU melalui pendirinya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham Syi’ah ini. Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan akidah. Meski pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi Simbah Hasyim Asya’ari memberi peringatan kesesatan Syi’ah melalui berbagai karyanya. Antara lain; "Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, "Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”. Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9). Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan mengapa Syi’ah Imamiyyah dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak sah untuk diikuti. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam golongan Syi’ah yang mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi SAW. Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Mbah Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat Nabi SAW itu. Hadis Nabi SAW yang dikuti itu adalah: “Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”. Peringatan untuk membentengi akidah umat itu diulangi lagi oleh Syeikh Hasyim dalam pidatonya dalam muktamar pertama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, bahwa madzhab yang sah adalah empat madzhab tersebut, warga NU agar berhati-hati menghadapi perkembangan aliran-aliran di luar madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut. Dalam Qanun Asasi itu, Syeikh Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syi’ah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Pelurusan akidah itu menurut beliau adalah tugas orang berilmu, jika ulama’ diam tidak meluruskan akidah, maka mereka dilaknat Allah SWT. Kitab “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” sendiri merupakan kitab yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’ari, berisi pedoman-pedoman utama dalam menjalankan amanah keorganisasian Nahdlatul Ulama. Peraturan dan tata tertib Jam’iyyah mesti semuanya mengacu kepada kitab tersebut. Jika Syeikh Hasyim Asy’ari mengangkat isu-isu kesesatan Syi’ah dalam “Muqaddimah Qanun Asasi”, itu berarti persoalan kontroversi Syi’ah dinilai Syeikh Hasyim sebagai persoalan sangat penting untuk diketahui umat Islam Indonesia. Artinya, persoalan Syi’ah menjadi agenda setiap generasi Nahdliyyin untuk diselesaikan sesuai dengan pedoman dalam kitab tersebut. Sikap tegas juga ditunjukkan Syeikh Hasyim dalam karyanya yang lain. Antara lain dalam “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah” dan “al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”, di mana cacian Syi’ah dijawab dengan tuntas oleh Syeikh Hasyim dengan mengutip hadis-hadis Nabi SAW tentang laknat bagi orang yang mencaci sahabatnya. Lain Hadhrotus Syaikh Mbah Hasyim lain pula sikap para pemimpin NU jaman sekarang, silahkan menyimpulkan..

03/09/12

Majlis Haul Simbah KH. Baidhowi Ke-42 dihadiri ribuan jama'ah

Haul yang digelar hari Ahad siang bertempat di pelataran Pondok Pesantren Al-Wahdah, Sumbergirang, Lasem-Rembang, Jawa Tengah, itu juga dihadiri sejumlah kiai. Diantaranya Mustasyar PBNU, KH Maemoen Zuber Sarang. Hadir pula Bupati Rembang, H Abdul Hafidz. Dalam tausiyahnya, KH Maemoen Zuber mengatakan, bahwa KH Baedlowi merupakan penyebar tarekat Syattariyyah.  "Tarekat ini merupakan salah satu tarekat terpenting dalam proses islamisasi di Indonesia. Dzikir yang diajarkan oleh tarekat ini sangat cocok untuk orang awam," kata Mbah Maemun. ”Mbah Baedlowi, ikut mengembangkan tarekat syattariyyah,” lanjut Mbah Maemoen, yang juga menantu KH Baedlowi. Pada bagian lain, Mbah Maemoen menjelaskan hubungan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah meninggal ibarat hubungan antara pengikal benang dengan layang-layang. "Dimana, orang hidup itu ibarat pengikal benang, sedangkan orang yang sudah meninggal ibarat layang-layang." "Layang-layang bisa dinaikkan dengan mengendorkan benang dari pengikal benangnya. Sebaliknya, layang-layang bisa diturunkan atau dijatuhkan dengan menarik benang dari pengikal benangnya," jelasnya. Orang yang masih hidup di dunia, lanjut Mbah Moen, bisa menaikkan arwah orang yang sudah meninggal. Sebaliknya, orang yang masih hidup juga bisa menurunkan arwah orang yang sudah meninggal. ”Jadi, meski sudah meninggal, masih ada hubungan dengan orang yang masih hidup,” tambahnya.        Dalam sejarah, KH Baedlowi memiliki peran yang cukup besar khususnya dalam upaya mempertahankan keutuhan NKRI. Salah satunya, beliau mengusulkan agar Presiden RI saat itu, Ir Soekarno diberikan gelar waliyyul al-amri ad-dharuri bi as-asyukah.  Usulan KH Baedlowi itu terkait dengan munculnya persoalan politik di tanah air yang mempertanyakan sah tidaknya posisi Ir Soekarno sebagai presiden di Indonesia. Akhirnya, usulan KH Baedlowi dibawa ke forum muktamar NU pada tahun 1947 di Madiun yang memutuskan bahwa Ir Soekarno adalah Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyyu al-amri ad-dharuri bi as-syaukah. Artinya, pemegang pemerintahan yang bersifat darurat dengan kekuatan dan kekuasaan. Selain KH Baedlowi bin Abdul Aziz, sejumlah masyayikh juga ikut dihauli. Antara lain Ny Hj Halimah bin Shiddiq, Ny Hj Hamdanah binti Ahmad Ke-31, KH Cholil bin Abdullah Umar Ke-13, dan Ny Hj Shofiyatun binti Abdullah Sajjad Ke-13. Selain itu, ada Ny Hj Roudloh binti Baedlowi, Kiai Abdul Bar bin Baedlowi, Ny Hj Afwah binti Baedlowi, Kiai Abdul Quddus bin Baedlowi, KH Abdul Halim bin Baedlowi Ny Hj Saudah binti Baedlowi, Ny Hj Fahimah binti Baedlowi, dan segenap sesepuh dan keluarga besar Pesantren Al-Wahdah, Lasem. *) Sumber: NU Online