Adalah A. Muhaimin , lahir di Lasem Kab. Rembang
Jawa Tengah pada 1890 M dari ayah Kiai Abdul
Aziz dan ibu Mukminah binti Mahali. Ia adalah
menantu Kiai Chasbullah, ayah KH Wahab
Chasbullah. Setelah isteri pertamanya wafat, ia
diambil menantu oleh Hadratusysyaikh Hasyim
Asy’ari Tebuireng, dinikahkan dengan putrinya,
Nyai Khoiriyyah Hasyim.
Kiai Muhaimin memulai pendidikan dini agama
dengan ayahnya, Kiai Abdul Aziz. Kemudian masa
remaja belajar ke Kiai Umar Pondok Pesantren
Sarang bersama kedua adiknya antara lain Suyuthi.
Ia kemudian Kiai Muhaimin melanjutkan belajar ke
Kiai Chasbullah Tambakberas Jombang sambil
mengajar. Akhirnya ia diambil menantu oleh Kiai
Chasbullah, dan kehadirannya pun mewarnai proses
belajar mengajar di pesantren tersebut, menjadi
sangat ramai dibanjiri santri, memberi berkah
tersendiri.
Berita ramainya Pondok Pesantren Tambakberas
membuat Kiai Hasyim Asy’ari terkesan, kemudian
meniru mengambil menantu dari pantai utara untuk
putrinya Khairiyyah dinikahkan dengan Kiai
Maksum bin Ali, keluarga Pesantren
Maskumambang, Desa Dukun Kab. Gresik, yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Kiai Maksum
Ali, Kwaron, pengarang Kitab Shorof Al-Amtsilatut
Tashrifiyyah yang menjadi buku pegangan wajib di
sebagian besar pondok pesantren, diterbitkan
pertama kali di Timur Tengah. Kiai Maksum adalah
kakak kandung Kiai Adlan Ali Cukir Jombang di
tahun 80an Rois ‘Am Jam’iyyah Ahlith Thoriqah Al-
Mu’tabaroh An-Nahdliyyah.
Tahun 1923 istri Kiai Muhaimin, kakak kandung
dari KH Wahab Chasbullah wafat, tidak dikaruniai
keturunan. Kemudian Kiai Muhaimin langsung
mukim di Makkah. Pertama kali menginjakkan
Makkah sudah dikenal alim. Sempat belajar
memperdalam lagi kepada adik Kiai Ahmad Dahlan
Yogyakarta. Di saat bersamaan Kiai Maksum suami
Nyai Khairiyyah wafat. Dikarunia keturunan antara
lain Nyai Abidah suami Kiai Mahfud Ahli Falakiyah
berputra antara lain H.Hakim, lainnya Nyai Jamilah
berputra antara lain Dr. Umar Faruq.
Menikah dengan Nyai Khairiyah
Hubungan ta’aruf Kiai Muhaimin-Nyai Khairiyyah
dimulai dari kegiatan surat menyurat. Saat itu usia
Nyai Khairiyyah 17 tahun setelah ditinggal wafat
Kiai Ma’shum Kwaron suami pertama. Kiai
Muhaimin dari Makkah berkirim surat isinya
menanyakan kesediaan Nyai Khairiyyah menjadi
istrinya. Saking bingungnya tidak terasa membaca
surat itu sambil berjalan dari Tebuireng sampai
Kantor Kecamatan Diwek. Kemudian dijawab Nyai
Khairiyyah, menanyakan keberadaan istri pertama
Kiai Muhaimin. Langsung dijawab dengan mengirim
surat keterangan kematian istrinya. Tidak beberapa
lama Kiai Muhaimin mengutus Kiai Bishri Syansuri
menyatakan keinginannya kepada KH Hasyim
Asy’ari. Lalu memanggil Nyai Khairiyyah, menjadi
heran kok sudah saling kenal. Kemudian Kiai Bishri
sambil tersenyum-senyum menerangkan bahwa
keduanya sebelumnya sudah surat-suratan.
Kiai Hasyim Asy’ari kemudian bersikukuh agar
anaknya menikah dengan Kiai Muhaimin. Untuk
maksud itu Oktober 1928 Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai
Wahab Hasbullah, dan Kiai Bishri Syansuri ke
Sarang, Kab.Rembang. Selanjutnya pihak keluarga
mengutus Kiai Ahmad bin Syueb Sarang (seusia
Kiai Muhaimin) agar mengikuti musyawarah dan
memutuskan syarat Nyai Khairiyyah untuk menikah
dengan Kiai Muhaimin harus dibawa ke Makkah.
Aqdun Nikah dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-
Wahdah Lasem yang diasuh Kiai Baidlowi bertindak
mewakili keluarga, karena Kiai Abdul Aziz sudah
wafat. Kiai Bishri Syansuri mewakili Kiai Muhaimin.
Akhirnya resmilah Nyai Khairiyyah menjadi istri Kiai
Muhaimin diantar ke Mekkah oleh adiknya, Kiai
Abdul Karim Hasyim. Adapun putrinya, Abidah 13
tahun dan Jamilah 8 tahun tidak ikut ke Makkah,
namun Ikut kakeknya, KH Hasyim Asy’ari di bawah
asuhan beliau di Tebuireng.
Dalam kehidupan rumah tangga, Kiai Muhaimin
memberikan Nyai Khairiyyah keleluasaan uang
belanja kebutuhan sehari-hari, karena memahami
harga sembako sewaktu-waktu bisa berubah. Hal
ini sangat melegakan hatinya, seperti pernah
diceritakan kepada ponakannya, Pak Muhsin.
Bahkan Kiai Muhaimin menyediakan uang dalam
lemari. Apabila kurang, ia mempersilahkan istrinya
mengambil uang di lemari satunya lagi.
Selamatkan Kitab Madzhab Syafi’i
Kiai Muhaimin tercatat salah seorang pengajar di
Masjidil Haram. Menunjukkan otoritas keilmuannya
diakui. Dia antara muridnya, Kiai Umar Blora,
Makkah.
Di Makkah Kiai Muhaimin pernah memimpin Darul
Ulum, pusat dakwah dan pendidikan (madrasah
atau jam’iah) berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
sebagai Rois Jam’iyyah. Termasuk pengajar atau
guru besarnya antara lain Sayid Ali Al-Maliki Mufti
Makkah. Pada mulanya Madrasah Darul Ulum
didirikan oleh Sayid Muchsin Musana Palembang
pada tahun 1927. Sepeninggal Kiai Muhaimin,
Mudir Darul Ulum dipimpin oleh Syaikh Yasin Al-
Padani, seorang ulama besar Makkah yang
terutama sejak tahun 80’an sampai akhir hidupnya
amat terkenal dan disegani menjadi rujukan hukum
dan sumber restu ulama NU di Indonesia. Untuk
membedakan 2 nama Yasin, Kiai Muhaimin
memberi nama 1. Syaikh Yasin (Al Padani), 2.
Ustadz Yasin (Palembang). Dalam riwayat yang
masyhur, memang guru Syaikh Yasin Al Padani
antara lain :1. Kiai Ma’shoem Lasem, 2. Kiai
Baidlowi Lasem.
Di antara murid di Madrasah Darul Ulum Makkah
masa dipimpin Syaikh Yasin adalah Syaikh Mur’i,
kini Mudir Universitas Darul Ulum, Hudaidah,
Yaman. Yang banyak memberi beasiswa
mahasiswa asal Indonesia.
Lulusan Darul Ulum Makkah yang diasuh Kiai
Muhaimin banyak yang menjadi ulama besar.
Tersebar di Makkah, Indonesia dan Yaman yang
memerlukan keuletan melacaknya, karena mereka
berdomisili di berbagai Negara. Termasuk Kiai
Basyuni ayah mantan Menteri Agama RI dan Kiai
Dahlan Makkah asal Kediri. KH.Maimun Zubair
Pengasuh Pesantren Al Anwar Sarang mengaku
alumni Darul Ulum waktu belajar di Makkah, masuk
tahun 1950, disampaikan saat ceramah walimah
pernikahan di rumah KH.A.Rozzaq Imam Bonang
Lasem besanan dengan Kiai Siraj Makkah. Menjadi
menantu Kiai Baidlowi dari Nyai Fahimah putrinya,
dikaruniai anak antara lain Gus Ubab dan Gus
Najih. Ayahnya, Kiai Zubair lahir tahun 1885.
Leluhurnya Buju’ Su’ud Desa Klampis Arosbaya
Bangkalan Madura. Bukan yang Bindere Su’ud di
Sumenep.
Sayang dalam perjalanannya kemudian Darul Ulum
yang didirikan dengan susah payah penuh suka
duka oleh Kiai Muhaimin dan dilanjutkan oleh
Syaikh Yasin Al-Padani, kelahiran tahun 1335
Hijriah, setelah kepemimpinan mereka mungkin
karena pengelolaannya kurang terurus, menjadi
tidak berkembang dan maju, sehingga diambil alih
oleh Pemerintah Saudi Arabia dari Dinasti
Su’udiyyah yang beraliran Wahabi, termasuk
mengambil alih perpustakaannya yang memiliki
banyak koleksi kitab-kitab penting. Darul Ulum pun
turun drastis kompetensi keilmuannya, mengikuti
persamaan tingkat dasar. Berubah menjadi sekolah
umum (kurikulum nasional), mulai dari tingkat
MTs sampai jenjang berikutnya. Seperti halnya
Ash-Sholatiyyah meski tetap dipegang swasta.
Begitu juga Al-Falah, namun dikelola masyarakat
Arab di Makkah.
Menurut Syaikh Shodiq bin Muhammad bin Hasan
Asy’ari ahli sejarah murid Syaikh Yasin Al-Padani
seperti juga Kiai Hasan Iraqi Sampang saat hidup
Kiai Muhaimin masih berusia 9 tahunan, Kiai
Muhaimin salah satu ulama besar Makkah asal
Jawa terkenal alim. Menurut Kiai Maimun Zuber,
sebagai contoh barometer kefaqihan Kiai Muhaimin
adalah kemampuannya mendirikan dan memimpin
Raudlatul Munadzirin, suatu lembaga bahtsul
masail satu-satunya yang paling prestisius di
kalangan ulama Makkah, pesertanya terutama
diikuti semua ulama asal Asia Tenggara seperti
Indonesia, Campa, Patani, Mindanao dan Malaya.
Diantara anggotanya, Kiai Zubair, ayah KH.Maemun
Zubair. Keputusan bahtsul masail Raudlatul
Munadzirin memiliki bobot inlektualitas keagamaan
yang tidak diragukan.
Kumpulan keputusan bahtsul masail Raudlatul
Munadzirin yang telah ditashih oleh Kiai Muhaimin
selaku Pimpinan Darul Ulum menjadi ensiklopedi
hukum ijma’ yang tidak ternilai. Seperti yang
pernah disampaikan oleh seorang narasumber
dalam sebuah halaqah yang diselenggarakan di
Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Leteh,
Rembang, pimpinan KH Musthofa Bishri atau Gus
Mus.
Namun sangat disayangkan, koleksi kitab karya
Kiai Muhaimin selama hidupnya memimpin Darul
Ulum termasuk Raudlatul Munadzirin, hingga
sekarang belum ditemukan. Di Makkah, Kiai
Muhaimin pernah menulis risalah tentang bedug
dan kentongan menurutnya perlu dipertahankan.
Sayyid Ali Mufti Makkah saat itu awalnya sempat
marah membaca sekilas risalah tersebut, karena
menganggapnya bid’ah. Risalah tersebut
berdasarkan sumber Al-Quran, Al-Hadits dan
Kaidah Ushul Fiqh yangh jelas. Kiai Muhaimin juga
menguraikan latar belakang filsafat Jawa, bahwa
bedug ditabuh di masjid berbunyi deng..deng
pertanda ruangan masjid masih cukup untuk sholat
berjamaah, kentongan dipukul di musholla berbunyi
tong..tong…memberi isyarat musholla masih
kosong menunggu jamaah datang.
Pendapatnya berbeda dengan KH.Hasyim Asy’ari.
Namun selama penulis 5 (lima) tahun sekolah di
Pesantren Tebuireng menyaksikan sendiri masjid
lama Tebuireng menggunakan bedug. KH.Hasyim
Asy’ari adalah ulama yang sangat terkenal
kealimannya. Terutama ahli hadits. Peletak dasar
aswaja di tubuh NU dengan mengarang Kitab
Qanun Asasi. Kealimannya salah satunya dapat
dilihat dalam polemik fiqh seringkali menyampaikan
pendapatnya berimprovisasi dalam bentuk syair
atau perlambang dalam bahasa arab secara isti’jal
atau spontan. Sehingga konfliknya tidak diketahui/
difahami masyarakat awam. Sayang Kitab Diwan
Hasyim Asy’ari berupa kumpulan syi’irnya itu
sampai sekarang dicari belum ditemukan.
Keindahan dan kemampuan mengungkapkan
pendapatnya jarang dimiliki ulama lainnya.
Mengingatkan kita dengan Diwan Asy-Syafi’I dan
Diwan Ali, walaupun yang menulisnya bukan
Sayyidina Ali RA sendiri.
Kiai Muhaimin banyak menyelamatkan kitab
madzhab Imam Syafii. Di tengah gencarnya
Pemerintah Saudi Arabia menarik peredaran kitab
yang dianggap menyimpang dari ajaran Wahabi
kemudian membakarnya. Di antara kitab Kiai
Muhaimin tertera tandatangannya menjad koleksi
Perpustakaan Tebuireng. Menurut H Ishaq bin Kiai
Masykuri, ayahnya santri Kiai Muhaimin saat
boyong dari Makkah naik kapal laut membopong
kitab sebagian koleksi Darul Ulum. Sampai di
rumahnya di Lasem ditumpuk, banyaknya sampai
penuh di beberapa lemari besar. Kondisi kitabnya
bolong-bolong, sekarang kitabnya sudah tidak ada.
Dahulu yang telaten sempat meneliti adalah
KH.A.Hamid Baidlowi. Menurut Kiai Maimun Zuber,
kitab-kitabnya dimakan lenget, kutu buku.
Jasa Kiai Muhaimin dalam sejarah yang tidak bisa
dipungkiri adalah perannya di Raudlatul Munadzirin
Makkah menghasilkan kader ulama unggulan yang
menguasai referensi karya keagamaan klasik yang
mampu menjawab dan memformulasikan
persoalan-persoalan ummat dalam proses
pengambilan hukum Islam. Telah mewarisi tradisi
keilmuan bahtsul masail. Kegiatan keilmuan
menjadi hidup atau kondusif. Kegiatan diskusi
ilmiah tersebut juga terkenal di Indonesia, memberi
sumber inspirasi. Gemanya meluas, di lingkungan
pondok pesantren dan NU. Sehingga menjamur,
berdiri bahtsul masail-bahtsul masail. Tsamrotur
Raudlah, hasil2 Keputusan Raudhatul Munadzirin
(Taman Cendikiawan) pernah diterbitkan dan
didapatkan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan
Majma’ Buhuts Nahdhiyyah, Jateng.
Kitab Tsamrotur Raudlatusy Syahiyah memuat
kumpulan jawaban permasalahan penting fiqh
Madzhab Syafi’I dari pelajar Indonesia selama
muqim di Makkatul Mukarromah antara lain
Masykuri Lasem, Jarir bin Ismail Karang Anyar,
Wazir bin Umar Bojonegoro, Abdul Jalil bin Abdul
Hamid Juwana, Umar bin Abdurrahman Demak,
Dahlan bin Kholil Jombang, Alawi bin Abdullah
Demak, Muslih Afindi bin Dahlan Kudus, Abu Syuja’
bin Munawar Kediri, Mushtofa bin Nur Salim
Rembang di bawah naungan Raudlatul Munadzirin
dengan ta’ayyid dan tasyji’ oleh Asysyaikh Al Alim
Al Allamah Al Ustadz Abdul Muhaimin bin Abdul
Aziz Lasem.
Ulama Makkah yang hidup masa itu antara lain
Syaikh Adnan, Syaikh Muhammad Bakir, Syaikh
Mukhsin Almusawa, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh
Ali Almaliki, dan Syaikh Mukhtar Ath-Thoriq.
Menurut KH Maemun Zubair, andaikan tidak ada
Kiai Muhaimin NU tidak akan sekuat itu, karena
Makkah merupakan pusat Islam Dunia termasuk NU
masa itu. Pasca diterimanya (success story) usul
Komite Hijaz oleh Pemerintah baru Saudi Arabia
agar memberikan kebebasan mengamalkan
Madzaahibul Arba’ah bagi muqimin Makkah, maka
kiprah Kiai Muhaimin dan komunitas Indonesia di
Makkah membuktikan (secara life) ajaran
Ahlussunnah wal Jamaah berdasarkan Madzahibul
Arba’ah yang diusung Komite Hijaz cikal bakal NU
begitu dinamis, aktif dan moderat.
Bahkan peranan istrinya, Nyai Khairiyyah (Syekh
Sodiq menyebutnya Syaikh Khairiyah) ikut
mengantar fase awal berdirinya Daulah Su’udiyyah
dalam bentuk model praktis serta visi misi
emansipasi penddidikan wanita Arab. Dengan
mendirikan Madrasah Banat yang pertama di
Makkah tahun 1942. Menurut H.Aboebakar dalam
bukunya, Nyai Khairiyyah selama 9 tahun
mendirikan dan mengajar di Madrasah Wanita
termasyhur di Syamiyyah, Makkah. Kiai Muhaimin
membantu Nyai Khairiyyah Hasyim, istrinya,
mendirikan Madrasah Kuttabul Banat. Sejarah
mencatat, madrasah khusus wanita yang pertama
di Makkah. Gerakan keduanya yang visioner
terobosan besar bagi kemajuan pendidikan. Telah
memperjuangkan emansipasi wanita di bidang
pendidikan. Jiwa kepeloporan yang teramat langka
dan tidak lazim pada zaman itu.
Kontribusi yang besar tersebut tentu
menggembirakan pemerintah dan warga Saudi
Arabia atas jasa-jasanya itu. Semoga hubungan
sejarah tersebut dapat membantu mempererat
hubungan Indonesia-Saudi Arabia.
Beberapa Madrasah Banat kemudian bermunculan
di Makkah, antara lain Jam’iyah Khoiriyah
University khusus wanita didirikan oleh Hj.Aminah
Syaikh Yasin Al Padani. Bahkan juga di Makkah
terdapat lembaga PKK dengan nama Jam’iyyatul
Khoiriyah yang menurut sumber informasi
dinisbatkan kepada Nyai Khairiyah, sekarang yang
menangani puteri dari Bin Abdul Aziz Malik Faishal
keluarga Kerajaan Saudi Arabia yang dikenal gigih
memperjuangkan emansipasi wanita yang dirintis
Nyai Khairiyah.
Peninggalan Kiai Muhaimin dan Nyai Khairiyyah
berupa Madrasah Darul Ulum termasuk di
dalamnya terdapat qismul banat yang kemudian
menjadi Madrasah Kuttabul Banat sampai tahun
1955 kemudian beralih status menjadi madrasah
negeri atau dikelola oleh negara (Pemerintah Saudi
Arabia) hingga sekarang.
Kiai Muhaimin di samping alim, mengkader, di
Makkah juga suka menolong orang lain. Sebagai
tokoh yang dituakan, banyak membantu biaya
hidup santri asal Indonesia yang sebagian besar
serba berkekurangan, hidup pada masa penjajahan.
Antara lain yang banyak dibantu, Kiai Wahib Wahab
Jombang, Kiai Zaini bin Abdullah kakak kandung
Kiai Hamid Pasuruan dan Kiai Bishri Musthofa,
setelah kembali ke Rembang berhasil menjadi
ulama besar dan produktif mengarang kitab.
Sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-
s,detail-ids,13-id,39173-lang,id-c,tokoh-
t,Selamatkan+Kitab+Madzab+Syafi%E2%80%99i
+dari+Pembakaran+Wahabi-.phpx