27/12/11

Renungan Sejenak: Memahami Toleransi Dengan Lebih Bijak

Perayaan Hari Natal menjadi polemik di masyarakat, khususnya Islam. Bagi siapa saja yang tidak ikut merayakannya berarti ia dianggap "tidak toleran". Untuk itulah pusat-pusat perbelanjaan hampir di seluruh daerah kini turut merayakan hari Natal sebagai bentuk toleransi dalam beragama. Lihat saja para pengisi acara muslim atau muslimah di televisi dengan suka rela beramai-ramai larut dalam kemeriahan. Bahkan tidak sedikit yang sengaja datang di acara Misa kebaktian (baca: malam Natal di Gereja sengketa Yasmin Bogor kemarin) atau sekedar memakai atribut Natal berupa topi sinterklas atau pernak-pernik lainnya.

Sahabat Anas ra berkata: Rosululloh saw tiba di Madinah (pada suatu hari) bertepatan dengan (salah satu) dua hari raya yang biasa dirayakan oleh para sahabat Anshar pada masa jahiliyah. Maka Rosululloh saw (ketika melihatnya marah) seraya bersabda:
قد أبدلكم الله بهما خيرا منهما
"(Bukankah) Allah telah mengganti dua hari raya kalian dg dua hari raya yg jauh lebih baik dr keduanya..
يوم الاضحي و يوم الفطر
(Yaitu) hari raya adhha dan hari raya fithri"(H.R Abu Daud dan An Nasa'I)

Atas nama “toleransi”, kini keyakinan umat Islam mulai ikut bercampur-aduk. Akibatnya, konsep kufur dan iman menjadi kabur. Agama saat ini rela “digadaikan” hanya dengan alasan "toleransi".

Lebih ekstrim lagi, ada yang berpendapat bahwa “Hanya seorang pluralis sejati yang toleran,” begitulah ungkap seorang tokoh Liberal yang menganggap siapa saja yang tidak pluralis maka ia tidak toleran. Termasuk umat Islam.

Bagi kita, toleransi tidak berarti harus menjadi pluralis. Saling menghormati dan menghargai tidak berarti membenarkan yang batil dan sesat. Antara haq dan batil sudah jelas.
Nabi Muhammad Shallallahu “alaihi Wa Sallam bertetangga dengan orang Yahudi, bersikap ramah dan toleran, namun beliau tetap mengatakan mereka kafir, jika tidak mau memeluk Islam, apalagi jika memusuhi kaum Muslim.

Untuk itu, sudah sepatutnya umat Islam memahami hal ini dan terus berusaha membendung doktrin-doktrin seperti halnya ikut-ikutan dalam merayakan hari Natal yang seharusnya tidak pantas dilakukan umat Islam. Bukankah Rasulullah begitu toleran kepada Yahudi jauh melebihi aktivis liberal? (Maaf, mungkin tidak pantas untuk dibandingkan) tetapi beliau tetap tak "mengakui" keyakinan mereka.

Berikut kisah yang mungkin bisa menjadi renungan bagi kita umat Islam:
Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”

Alkisah, setelah wafatnya Rasulullah Salallahu “Alaihi Wassalam, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi, yang biasa menyuapin si pengemis Yahudi buta tersebut.

Suatu hari, sahabat Rasulullah yakni Abubakar Radhiallahu Anhu berkunjung ke rumah anaknya Siti Aisyah (isteri Rasulullah) dan bertanya tentang kebiasaan Nabi belum ia kerjakan.

Aisyah menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja. Apakah Itu?, tanya Abu bakar RA. Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana, “ kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk disuapkan si pengemis Yahudi yang buta. Ketika Abubakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu?”, Abubakar menjawab, “Aku orang yang biasa (mendatangi engkau). Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku, bantah si pengemis buta itu.

Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah Shallalu “Alaihi Wassalam.

Pengemis Yahudi buta itu terkaget-kaget, sebab selama itu orang yang difitnah, diumpat dan dicaci itu tak lain Muhammad yang mulia, yang setiap pagi menyuapinya dengan sabar. Setelah peristiwa itu, sang Yahudi buta akhirnya bersyahadat dan menjadi Muslim.

Banyak orang seolah sudah pintar, seolah ingin mengajari “toleransi” melebihi hebatnya Nabi kita bertoleransi. Rasulullah yang mulia begitu hebat memperlakukan Yahudi melebihi kita, namun tetap saja tak mencampurkan akidah dan menganggap semua agama sama. Wa’Allahu a’lam bi as-Showab.

26/12/11

Motivasi hari ini: Belajar dari Mawar

Suatu ketika, ada seseorang pemuda yang mempunyai sebuah bibit mawar. Ia ingin sekali menanam mawar itu di kebun belakang rumahnya. Pupuk dan sekop kecil telah disiapkan. Bergegas, disiapkannya pula pot kecil tempat mawar itu akan tumbuh berkembang. Dipilihnya pot yang terbaik, dan diletakkan pot itu di sudut yang cukup mendapat sinar matahari. Ia berharap, bibit ini dapat tumbuh dengan sempurna.

Disiraminya bibit mawar itu setiap hari. Dengan tekun, dirawatnya pohon itu. Tak lupa, jika ada rumput yang menganggu, segera disianginya agar terhindar dari kekurangan makanan. Beberapa waktu kemudian, mulailah tumbuh kuncup bunga itu. Kelopaknya tampak mulai merekah, walau warnanya belum terlihat sempurna. Pemuda ini pun senang, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Diselidikinya bunga itu dengan hati-hati. Ia tampak heran, sebab tumbuh pula duri-duri kecil yang menutupi tangkai-tangkainya. Ia menyesalkan mengapa duri-duri tajam itu muncul bersamaan dengan merekahnya bunga yang indah ini. Tentu, duri-duri itu akan menganggu keindahan mawar-mawar miliknya.

Sang pemuda tampak bergumam dalam hati, “Mengapa dari bunga seindah ini, tumbuh banyak sekali duri yang tajam? Tentu hal ini akan menyulitkanku untuk merawatnya nanti. Setiap kali kurapihkan, selalu saja tanganku terluka. Selalu saja ada ada bagian dari kulitku yang tergores. Ah pekerjaan ini hanya membuatku sakit. Aku tak akan membiarkan tanganku berdarah karena duri-duri penganggu ini.”

Lama kelamaan, pemuda ini tampak enggan untuk memperhatikan mawar miliknya. Ia mulai tak peduli. Mawar itu tak pernah disirami lagi setiap pagi dan petang. Dibiarkannya rumput-rumput yang menganggu pertumbuhan mawar itu. Kelopaknya yang dahulu mulai merekah, kini tampak merona sayu. Daun-daun yang tumbuh di setiap tangkai pun mulai jatuh satu-persatu. Akhirnya, sebelum berkembang dengan sempurna, bunga itu pun meranggas dan layu.

Jiwa manusia, adalah juga seperti kisah tadi. Di dalam setiap jiwa, selalu ada ‘mawar’ yang tertanam. Tuhan yang menitipkannya kepada kita untuk dirawat. Tuhan lah yang meletakkan kemuliaan itu di setiap kalbu kita. Layaknya taman-taman berbunga, sesungguhnya di dalam jiwa kita, juga ada tunas mawar dan duri yang akan merekah.

Namun sayang, banyak dari kita yang hanya melihat “duri” yang tumbuh. Banyak dari kita yang hanya melihat sisi buruk dari kita yang akan berkembang. Kita sering menolak keberadaan kita sendiri. Kita kerap kecewa dengan diri kita dan tak mau menerimanya. Kita berpikir bahwa hanya hal-hal yang melukai yang akan tumbuh dari kita. Kita menolak untuk menyirami” hal-hal baik yang sebenarnya telah ada. Dan akhirnya, kita kembali kecewa, kita tak pernah memahami potensi yang kita miliki.

Banyak orang yang tak menyangka, mereka juga sebenarnya memiliki mawar yang indah di dalam jiwa. Banyak orang yang tak menyadari, adanya mawar itu. Kita, kerap disibukkan dengan duri-duri kelemahan diri dan onak-onak kepesimisan dalam hati ini. Orang lain lah yang kadang harus menunjukannya.

Jika kita bisa menemukan “mawar-mawar” indah yang tumbuh dalam jiwa itu, kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul. Kita, akan terpacu untuk membuatnya akan membuatnya merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan diri kita tentang mawar-mawar itu, dan mengabaikan duri-duri yang muncul.

Semerbak harumnya akan menghiasi hari-hari kita. Aroma keindahan yang ditawarkannya, adalah layaknya ketenangan air telaga yang menenangkan keruwetan hati. Mari, kita temukan “mawar-mawar” ketenangan, kebahagiaan, kedamaian itu dalam jiwa-jiwa kita. Mungkin, ya, mungkin, kita akan juga berjumpa dengan onak dan duri, tapi janganlah itu membuat kita berputus asa. Mungkin, tangan-tangan kita akan tergores dan terluka, tapi janganlah itu membuat kita bersedih nestapa.

Biarkan mawar-mawar indah itu merekah dalam hatimu. Biarkan kelopaknya memancarkan cahaya kemuliaan-Nya. Biarkan tangkai-tangkainya memegang teguh harapan dan impianmu. Biarkan putik-putik yang dikandungnya menjadi bibit dan benih kebahagiaan baru bagimu. Sebarkan tunas-tunas itu kepada setiap orang yang kita temui, dan biarkan mereka juga menemukan keindahan mawar-mawar lain dalam jiwa mereka. Sampaikan salam-salam itu, agar kita dapat menuai bibit-bibit mawar cinta itu kepada setiap orang, dan menumbuh-kembangkannya di dalam taman-taman hati kita.